Editor: Novianita Sari
Oleh : Novianita Sari Terlihat gadis remaja yang bernama Dinda duduk dibawah pohon rindang. Ia berteduh sejenak
sembunyi dari sinar matahari dibawah pohon tersebut. Deruan nafasnya begitu cepat, keringat pun
bercucuran deras. Ditangannya terdapat raket yang kumuh yang ia genggam. Gadis ini selalu berlatih bulu
tangkis di lapangan kecil yang tak jauh dari rumahnya.
Sehabis ia berlatih bulu tangkis, ia kembali pulang kerumah dengan berjalan kaki. Dinda memang
terlahir dari orang yang tak punya. Orang tuanya pun tak mampu membelikan sepeda untuknya. Namun,
ia begitu semangat belajar. Di sekolah, ia terkenal dengan julukan “smart girl”. Dinda juga di tunjuk
mewakili sekolahnya di ajang “bulu tangkis terbaik se – indonesia” karena bakatnya sudah begitu banyak
yang mengetahuinya, terutama guru-guru di sekolahnya.
Keesokan harinya, ia bersiap berangkat sekolah dengan membawa keranjang yang berisi kelepon
buatan ibunya. “Nak! Ini kue keleponnya” ucap sang ibu yang menghampiri Dinda sambil memberi
keranjang itu pada Dinda. “iya bu. Ya sudah bu, Dinda pamit berangkat sekolah dulu” pamit Dinda pada
sang ibu sembari mencium punggung tangannya.
Seperti biasa, Dinda selalu membawa kue dan bermaksud menjajakannya di sekolah. Ini merupakan
penghasilan yang bisa membantu sang ibu semenjak ayahnya meninggal 1 tahun yang lalu. Kelepon ini
pula yang bisa menghidupi keluarganya hingga sekarang. Sesampainya Dinda di sekolah, teman-
temannya pun menunggu kehadiran Dinda berniat untuk membeli kue tersebut. Saat teman-temannya
sedang asyik menikmati kelepon buatan ibu Dinda. Datang Silvi dan Nana menghampirinya dan membully
Dinda habis-habisan. “Dasar orang miskin, ngakunya atlet tapi gak kuat beli raket. Kemana-mana selalu
bawa raket kumuh dan makanan kampungan kayak gini. Iyuuhh banget” ucap mereka mengejek sambil
berkipas-kipas. Dinda biasa dengan cacian seperti itu. Ia pura-pura tak mendengar walau ia tau itu begitu
sakit didengar. Tiba-tiba datang pak David guru badminton tersebut memberi tahu bahwa perlombaan
badminton tersebut diadakan besok. Diapun tersenyum lebar mendengarnya. Ia menjadi bersemangat
menjajakan keleponnya di tiap-tiap kelas walaupun banyak teman yang menghinanya, membuli, dan
mencaci, namun Dinda tetap berjuang sembari membawa raket kumuh miliknya.
Sepulang sekolah, ia segera berlari menuju lapangan kecil yang selalu digunakan latihan badminton
Dinda dan teman-temannya. Saat Dinda berjalan menuju lapangan, tiba-tiba Dinda di tegur oleh beberapa
orang disana. “Dinda! Mau kemana? Mau badminton lagi?! Ha…ha…ha… gak usah buang-buang tenaga
Din, paling-paling kamu juga jualan kelepon lagi. Meneruskan bisnis dan perusahaan ibumu itu
ha…ha…ha…” ucap salah satu seseorang itu diselingi tertawanya yang tak pantas. Namun Dinda hanya
tersenyum dan melanjutkan perjalanannya menuju lapangan. Sesampainya di lapangan Dinda segera
duduk di bawah pohon sambil mencerna kembali kata-kata yang dilontarkan orang tadi. Ia pun menjadikan
ejekan tersebut sebagai dorongan untuknya menuju kesuksesan.
“Aku harus berusaha. Aku harus tunjukkan pada mereka bahwa aku bisa” ucap Dinda yang
menyemangatkan diri sendiri.
“Dinda.. ayo latihan” terdengar teman Dinda memanggil dan mengajaknya untuk berlatih bulu tangkis.
Diapun segera menuju lapangan untuk berlatih.
Malam harinya Dinda mempersiapkan persiapan untuk pertandingan besok. Tiba-tiba ibu Dinda
batuk-batuk. Dinda pun segera menghampiri ibunya yang berada di kamar.
“Bu, ibu kenapa? Ibu sakit?” tanya Dinda sembari memijat kedua pundak ibunya.
“Ya, tapi hanya terbatuk saja nak.” Tegas sang ibu.
“kalau begitu, aku akan mundru dipertandingan besok bu. Aku akan menjaga ibu sampai ibu sehat”
ucap Dinda dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.
“jangan nak, jangan khawatirkan ibu. Jika kamu mundur dari pertandingan itu, itu yang membuat ibu
sakit. Lagipula ini juga peluang untuk kamu menjadi seorang atlet badminton” jelas sang ibu yang
membuat Dinda berfikir. “tapi bu….” Dinda mengkhawatirkan keadaan ibunya. “sudahlah, ibu baik-baik
saja”, tukas sang ibu.
“baik bu jika itu keinginan ibu. Dinda akan ikut pertandingan itu besok. Dinda akan buat ibu bangga!”
ucap Dinda memeluk ibunya sebentar.
“bagus. Tapi maaf ibu tidak bisa ikut. Ya sudah, kamu istirahat dulu agar pertandinganmu esok lebih
maksimal” perintah sang ibu yang lalu dilaksanakan oleh Dinda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar